Manajemen Keuangan Keluarga

Manajemen Keuangan Keluarga

 

Beberapa minggu lalu, saya diberi kesempatan mengisi materi pada pengajian rutin minggu pagi “Keluarga Sakinah” di Masjid Fatimatuzzahra kompleks SD MBF Al-Adzkiya, Wonosobo, Jawa Tengah, tentang manajemen keuangan keluarga. Saya pandang topik ini cukup penting, mengingat keluarga adalah pilar bagi sebuah masyarakat. Saking pentingnya suatu keluarga, orang jawa menyebut keluarga sebagai omah. Menurut saya hal ini karena omah merupakan serapan dari kata ummah. Dimana para cendekia jawa dahulu sangat menyadari bahwa keluarga adalah bagian atau unit terkecil dari ummah itu sendiri.

Ummah atau masyarakat yang kokoh, terdiri dari keluarga-keluarga yang memiliki pondasi kokoh. Dan sebaliknya, bila dalam masyarakat fondasi-fondasi keluarganya rapuh, maka masyarakat pun akan rapuh pula. Nah, salah satu yang menentukan rapuh atau kuatnya fondasi keluarga yang cukup utama adalah faktor manajemen keuangan keluarga.

Padahal selama ini, justru kita sering kali melupakan tentang hal ini sehingga tidak mengajari pengelolaan keuangan pada keluarga. Artinya, mungkin sekali ada suami atau istri yang sebenarnya cerdas secara keuangan akan tetapi, tidak pernah merasa perlu untuk mengajarkan pengetahuan keuangannya itu kepada orang lain dalam keluarga tersebut. Seolah-olah kecerdasan keuangan ini dianggap tidak menjadi sesuatu yang penting dalam keluarga sehingga berfikir “toh, nanti anak-anak akan ngerti sendiri…” atau perkataan-perkataan semacam itu, atau bahkan ada pula pendapat bahwa mengajarkan kecerdasan finansial pada keluarga ini dianggap sesuatu yang tabu.

Seringkali pula didapati suatu keluarga yang sukses sebagai seorang profesional, sebagai pegawai negeri atau karyawan, atau sukses sebagai pengusaha sehingga kesehariannya dalam profesinya tersebut tentu tidak asing bahkan sangat akrab dengan manajemen keuangan, akan tetapi justru didalam mengelola keuangan keluarganya, prinsip-prinsip keuangan tersebut tidaklah diterapkan. Padahal, penerapan prinsip keuangan yang benar yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan hidup yang hemat, cermat, memiliki prioritas dan memiliki tujuan adalah sangat menentukan kesuksesan keluarga tersebut, dan sesungguhnyalah mengajarkan cara mengelola keuangan, mengajarkan kebijaksanaan membedakan kebutuhan dan keinginan dalam ruang makan atau ruang keluarga adalah suatu alat yang penting untuk menjadikan anak dan keluarga kita menjadi keluarga yang sukses.

Oleh karena itu, pada serambi ini perlu kita bahas tentang betapa pentingnya kecerdasan finansial dalam keluarga. Seharusnyalah, suatu keluarga mengatur keuangannya berdasar satu visi, tujuan, pandangan hidup dari keluarga itu sendiri. Tujuan pengaturannya pun dapat kita bagi dalam jangka pendek, jangka menengah mupun jangka panjang. Akan tetapi sebagai keluarga muslim, maka tujuan dari adanya syariah dapatlah dijadikan acuan pedoman umum dan kemudian kita bisa menyesuaikan tujuan keluarga kita dalam bingkai maqashid syar’i (tujuan diturunkannya syariah).

Al-Ghazaly dan diteruskan As-Syatiby menyatakan bahwa diciptakan syariah itu adalah untuk kesejahteraan manusia yang terumuskan dalam lima hal. Yaitu, spiritualitas, intelektual, kesehatan, finansial dan sosial. Oleh karena itu, manajemen keuangan keluarga adalah cermin perhatian kita pada aspek-aspek kesejahteraan kita. Jadi satu keluarga yang ingin keluarganya sejahtera harus meliputi lima aspek di atas. Seyogyanya pula hal itu tercermin dalam mengelola keuangan keluarga kita.

Dalam acara pengajian Ahad pagi tersebut, saya sampaikan kepada para jamaah. Suatu rumusan sederhana, yang semua dari kita pasti telah tahu bahwa, 1-1= 0, 10-10= 0, 100-100 adalah 0 pula, 1 juta - 1 juta adalah 0 pula. 10 juta - 10 juta adalah 0 pula. Rumus sederhana ini menunjukkan bahwa hasil akhir dari keuangan keluarga tidak tergantung pada berapa besar pendapatan seseorang atau satu keluarga, akan tetapi bila pengeluaran sama atau bahkan lebih besar seperti itu, maka kesejahteraan yang dimaksud tidak akan tercapai.

Oleh karenanya, yang harus kita kelola pula adalah pengeluaran. Yakni dengan memiliki fungsi budgeting. Budgeting adalah fungsi pengeluaran sesuai dengan urutan, mana yang penting, mana yang tidak penting, mana yang mendesak dan mana yang tidak.

Pada Serambi ini ingin saya ketengahkan suatu metode pengelolaan keuangan yang memiliki lima unsur pokok pengelolaan keuangan, yang terinspirasi dari aspek-aspek maqashid syar’i sebagaimana telah diutarakan di depan. Tentulah unsur-unsur pokok tersebut masih pula harus dijabarkan dalam unsur-unsur penyangganya. Unsur-unsur pokok adalah unsur-unsur utama yang meliputi hajat hidup utama, sehingga tercermin pula dalam porsi pembelanjaan yang lebih besar dan unsur penyangga yang porsinya lebih kecil. Keseluruhan unsur-unsur itulah yang menentukan kesuksesan suatu keluarga, akan tetapi jika salah satu unsur didalamnya tidak mendapatkan porsi biaya yang optimal, ternyata akan mempengaruhi keseluruhan unsur yang lain sehingga secara keseluruhan kapasitasnya tidak akan terisi dengan optimal pula.

Supaya lebih mudah untuk membayangkannya saya membuat suatu model sebagaimana suatu wadah air (tempayan) yang terbuat dari kayu yang terdiri dari bilah kayu yang tidak sama besarnya, bilah-bilah kayu yang besar menunjukkan sebagai unsur utama, sedangkan bilah kayu yang kecil menunjukkan unsur penyangga sedangkan air yang ada didalamnya adalah amanah rejeki yang mampu di emban. Sedangkan tinggi atau rendahnya kayu menunjukkan prosentase dari porsi yang seharusnya dibelanjakan.

Bilah-bilah kayu yang melambangkan porsi belanja keluarga tadi menjadikan wadah air tadi mampu diisi oleh air dalam kapasitas maksimalnya atau tidak. Jika keseluruhan kayu telah dipasang dan baik kayu yang besar maupun yang kecil berada sama tinggi, maka pada posisi inilah wadah tadi mampu menyimpan isi air yang paling banyak. Akan tetapi, isi dari wadah tersebut ternyata tidak ditentukan tingginya salah satu kayu yang menjadi dinding wadah tersebut (yang mencerminkan porsi biaya yang dikeluarkan), akan tetapi justru ditentukan oleh kayu penyusun yang dalam posisi terendahnya.

Dalam model demikian, suatu keluarga membelanjakan keuangannya yang berkonsentrasi kepada sandang-pangan-papan yang termasuk dalam unsur utama dalam unsur kesehatan, akan tetapi jika keluarga tersebut tidak mengalokasikan dalam prosentase yang cukup untuk meningkatkan intelektualitas misalnya dengan membeli buku, mengikuti seminar, studi banding, dlll. Maka kapasitas dirinya tidak akan berada pada posisi optimal, dan justru kapasitas intelektualnya yang tidak meningkat tersebut menghalangi dirinya untuk berkembang. Dalam contoh ini dapat jelas terlihat bahwa betapapun banyak kita belanjakan untuk unsur-unsur yang lain, akan tetapi jika salah satu unsur meskipun porsi belanjanya tidaklah besar, akan tetapi jika unsur tersebut tidak kita alokasikan dana dalam prosentase yang cukup, maka hal demikian akan menghambat keseluruhan kemampuan dari keluarga tadi untuk menampung rejeki.

Dalam contoh yang berbeda, suatu keluarga meletakkan kebutuhan intelektualnya dalam posisi yang sangat penting sehingga melupakan kebutuhan-kebutuhan yang lain seperti memelihara kesehatan, olah-raga, rekreasi dan menjalin hubungan sosial dengan sesama. Maka, keluarga tersebut dalam skema model tadi bilah kayu intelektualnya tinggi, akan tetapi bilah kayu pangan yang halal dan berkualitasnya rendah, olahraga, rekreasi dan hubungan sosialnya rendah. Dan ternyata kesukses yang didapat dari sisi intelektualnya tidak mampu didayagunakan untuk lebih besar lagi karena kesehatannya terganggu, dan untuk maju dia butuh didukung oleh masyarakat sosialnya dan ternyata dia tidak pernah memberikan perhatian kepada masyarakat sosialnya.

Atau dalam contoh yang lain lagi, suatu keluarga membelanjakan keuarganya untuk kebutuhan-kebutuhan kesehatan yang tinggi, aktif secara sosial, dan peningkatan intelektual diri dan keluarga, bahkan telah mampu bukan hanya menabung lebih dari itu bisa pula menginvestasikan hartanya kepada bidang-bidang bisnis dan lembaga keuangan yang aman.

Akan tetapi ternyata, ia lupa untuk membelanjakan kebutuhan yang berkaitan dengan agamanya. Lupa membayarkan zakat, membayarkan infaq, shadaqah maupun wakaf. Sehingga, keluarga tadi sukses secara materi dan tampak sehat secara badani, akan tetapi batinnya hampa, kebahagiaan hidup menjadi sangat artifisial dan kering, maka hidupnyapun menjadi merana, potensi diri yang harusnya muncul dalam sikap yang antusias terhadap hidup yang terpancar dalam sikap pribadinya, tercermin dari pancaran matanya, ternyata hal tersebut hilang dalam dirinya, sehingga rekan-rekan bisnis yang harusnya memberikan kepercayaan pada dirinya meninggalkannya, atau dirinya akan berada pada pusaran pencarian diri yang tak berakhir. sehingga sebagaimana digambarkan oleh wadah air tadi, betapapun diberi air dalam jumlah yang cukup, akan tetapi salah satu kayu penunjangnya tidak setinggi kayu-kayu yang lain, maka air akan mengalir melalui kayu yang terendah tak pandang bilah kayunya besar atau kecil.

Oleh karena itu, pentinglah bagi kita untuk mengetahui bagaimana kita mengatur keuangan kita sehingga kapasitas diri dan keluarga dapat meningkat dan dalam posisi yang optimal dengan cara mengatur keuangan dari masing-masing unsur utama dan penunjangnya yang meskipun besaranya tidaklah harus sama, akan tetapi dapat menjadikan kapasitas kita berada dalam posisi optimal.

Pada kenyataanya, mengelola keuangan, sebagaimana ilmu manajemen itu sendiri tidaklah merupakan suatu pengetahuan yang kaku, akan tetapi lebih merupakan suatu seni. Tentu dalam hal-hal tertentu kita memerlukan pengetahuan yang pasti, dalam banyak hal betapapun kita sudah membuat kaidah-kaidah atau pedoman-pedoman, akan tetapi kondisi yang ditemui setiap hari seringkali memerlukan ruang untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Disitulah letak seninya dan jika kita mampu melalui dengan tetap pada tujuan, maka disitulah letak keberhasilan kita.

Selamat mengatur keuangan, semoga bahagia dan sukses di tahun 2013. Bahagia keluarga Indonesia “Happy Life Happy Syariah”. []