Perencanaan Keuangan itu Mendidik Masyarakat Naik Kelas

Perencanaan Keuangan itu Mendidik Masyarakat Naik Kelas

 

Perencana keuangan itu ibarat lampu lalu lintas, bila hijau tanda berjalan. Warna kuning tanda pelan-pelan dan waspada serta warna merah untuk berhenti. Dalam kondisi Rupiah melemah dibandingkan Dollar membuat perekonomian Indonesia harus ditata secara hati-hati. Agar hal-hal seperti krisis 1998 tidak terjadi lagi. Bukan saja pada level makro, level mikro pun mulai terasa imbasnya. Salah satu sebabnya adalah level mikro telah terhubungkan dengan level makro.

Melihat kondisi seperti ini perencanaan keuangan menjadi penting, baik bagi lembaga keuangan, UMKM dan keluarga. Agar tidak terjadi pengeluaran yang tidak perlu sehingga kondisi keuangan akan tetap aman, stabil bahkan kalau bisa naik kelas di tahun-tahun mendatang. Bagaimana peran BMTsebagai perencana keuangan dan bagaimana perencanaan keuangan bisa diaplikasikan bagi pedagang, khususnya UMKM. Berikut wawancara Zubaeri At dengan Dosen Perencanaan Keuangan Syariah Pascasarjana FE UII, Bapak Priyonggo Suseno di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Apa sebenarnya tugas utama perencana keuangan?

Jadi prinsip utama mengapa kita butuh perencana keuangan itu, kita pengen secara keuangan masyarakat kita naik kelas, naik kelas dalam melihat uang dan memperlakukan uang. Mungkin pada level yang paling dasar, uang dilihat sebagai alat transaksi saja. Saya butuh uang, ketika butuh. Ketika tidak butuh, ya tidak butuh. Naik level lagi, uang itu bisa memperbaiki kehidupan masa yang akan datang. Naik lagi, uang itu bisa melindungi diri kita dalam kehidupan duniawi. Naik lagi, uang itu bisa menyelematkan diri kita di hari akhir nanti. Jadi itu misi dari perencanaan keuangan yakni agar masyarakat melek (sadar) dalam mengelola harta sehingga harta yang banyak atau sedikit itu bisa diperlakukan secara efesien dan efektif.

Lalu mengapa perlu perencanaan keuangan?

Dibarat, masyarakat keuangan konvensional, mereka sudah sadar bagaimana mencari uang, tapi jarang yang sadar bagaimana memperlakukan uang. Banyak sekali, maaf dari non ekonomi, dari teknik, sipil dan sosial mereka ngerti bagaimana mencari uang. Tapi bagaimana memperlakukan uang, banyak orang yang keblinger (bingung). Antara perencanaan keuangan konvensional dan syariah terletak pada tujuan.

Dalam Islam, tujuan dari perencanaan keuangan adalah bukan hanya bagaimana mengelola keuangan itu dengan baik, tapi juga bagaimana uang itu bermanfaat sesuai dengan tujuannya. Uang tidak harus kita kumpulin. Tapi dengan harta yang banyak ataupun sedikit ini hidup kita semakin tertata. Untuk kita sendiri. Kemudian ke keluarga semakin temoto (tertata), meluber lagi kemasyarat kita. Karena kita tidak ingin yang kaya hanya diri kita saja, keluarga tidak kaopen (menerima manfaatnya), naik lagi ke sosial, naik lagi ke negara. Naik lagi tingkat dunia hingga akhirat.

Jadi nantinya tujuan dari perencana keuangan syariah itu tidak hanya terkait dengan tujuan duniawi tapi juga ukhrowi. Misalnya, kita punya planning, saya 20 tahun lagi akan memiliki target memiliki aset wakaf senilai satu milyar Rupiah. Itu kan long time. Atau kita memiliki imipian sekian tahun lagi akan naik haji, dalam perencanaan keuangan konvensional itu tidak direncanakan, ini satu. Dua, alat. Bagaimana mencapai tujuan.

Yang paling membedakan perencanaan keuangan konvensional dengan perencanaan keuangan syariah yakni mulai dari proses mencari harta, bagaimana melindungi harta, lalu bagaimana harta itu berkembang hingga anak turun kita nantinya. Di konvensional berhenti di situ. Tapi dalam Islam, harta tersebut harus dibersihkan. Waktu kita mencari harta, yakin bahwa harta itu bersih. Ketika investasi, yakin bahwa investasi itu bersih. Bersedekahpun harus dengan cara yang bersih. Jangan sampai kita bersedekah dengan harta hasil korupsi. Jadi purifikasi (pemurnian) harta.

Cara membedakan kedua, adalah mekanismenya. Dalam mencari harta harus terbebas dari hal yang dilarang agama, misalnya penipuan, dan berbebas dari riba. Hari ini, uang Rupiah dari Dollar kenaikannya hingga sepuluh dijit. Kalau uang kita yang tak seberapa tentu tidak ngefek. Tapi bagi mereka yang memiliki harta yang banyak akan berpengaruh sekali. Misalnya, jual beli trading, keuntungannya akan banyak sekali. Transaksi ini diambil haram, tidak diambil rugi. Makanya mekanisme ini penting untuk diperhatikan.

Cara membedakan ketiga, dalam sisi pengalokasian harta harus jelas manfaatnya. Dalam mengamankan harta juga harus dengan asuransi takafful, bukan dengan asuransi ribawi. Dalam berbagi harta, sekarang ini umat Islam banyak yang tahu teorinya, tapi jarang dipraktekkan.

Bagaimana perencanaan keuangan ini bisa diterapkan pada BMT, sehingga BMT bisa menjadikan ilmu perencanaan tersebut sebagai dakwah?

Pada level mikro, harus dipilah-pilah lagi. Karena dalam mikro tersebut banyak sekali modelnya. Perencanaan keuangan pada level pertama, adalah micro saving. Mengajari orang menabung pada level mikro. Naik lagi, asuransi mikro, mengajari orang bagaimana dengan uang mikro tadi harta terlindungi, nyawa terlindungi. Naik lagi, investasi mikro. Karena harta kecil-kecil bila dikumpulin akan menjadi investasi masa depan.

Naik lagi, mikro sedekah. Kita harus bisa menyakinkan, bahwa orang miskin bisa bersedekah dan masuk surga. Naik lagi, kita bicara mikro distribusi. Kita tidak ingin orang miskin meninggal, tapi meninggalkan ahli warisnya hutang.

Sekarang, BMT menurut saya masih bergerak pada level satu. Yakni financing. Bagaimana mencari harta. Sebenarnya sebelum itu, ada empat hal yang belum digarap. Atau sebagian sudah digarap. Yaitu selain simpan pinjam, harus ada asuransinya, ada savingnya, ada invesmentnya, ada sedekahnya dan ada warisnya. Makanya, mana yang akan digarap duluan dan bagaimana cara menggarapnya.

Menurut Bapak bagaimana sebaiknya BMT yang harus diupayakan membuat perencanaan bagi anggota?

Bagi saya, BMT melakukan pembiayaan (simpan pinjam) itu jumping (melompat). Saya katakan lompat, bagi orang yang akan melakukan pembiayaan, sebenarnya adalah orang yang sudah siap menambah modal tentunya bagi mereka yang sudah mampu mengelola dana kas. Kalau belum, pasti uangnya akan bocor uangnya kemana-mana. Tapi mungkin BMT sudah melakukan seleksi yang sudah malakukan cash managemen yang sudah berhasil.

Sebenarnya, BMT bila melakukan edukasi anggota dengan cara menabung dan mengajari cash managemen terutama cash flow masyarakat. Ketika dalam memberikan pembiayaan, diupayakan BMT melakukan cash managemen, mana yang pengeluaran dan mana pemasukan. Barang apa yang harus dikurangi dan barang apa yang harus ditambah dan seterusnya.

BMT sebagai cash managemen, BMT memposisikan sebagai almari kasnya anggota. Hingga anggota mempunyai trust (kepercayaan) kepada BMT. Memang ini perlu edukasi dan waktu yang cukup lama. Tidak semua sekmen kita garap. Harus dipilah-pilih dulu, dan kemudian kita tunjukkan bahwa dengan adanya cash managemen tadi, sehingga masyarakat melek (melihat) bahwa ini loh.., masyarakat yang selama ini dianggap kekurangan. Kini bisa saving.

Contoh saja, asuransi, kita masuk di mikro asuransi saja berat. Takaful, bisa murah sekitar 350 ribu Rupiah pertahun, perorang. Berarti perhari seribu. Sebulan 30 ribu. Kalau satu keluarga ada empat orang, berarti 120 ribu satu keluarga. Hal itu bisa kita bayar dengan banyak penghematan seperti penghematan merokok, menghematan jajan es, listrik dan penghematan pulsa. Bapak ibu silahkan menabung kepada kami, nanti BPJS kita uruskan. Nanti dari penghematan itu, bisa dipakai untuk membayar premi BPJS. Kan begitu. Dan itu indah sekali. Wah itu, anggota BMT yang mulanya kalau sakit bingung, hal ini bisa dicover. Kemudian saving (menabung).

Lalu mengapa kita tidak bisa simpan pinjam lebih murah, karena sudah banyak dilakukan banyak orang. Kita tinggal mereplika saja pada umumnya. Masuk kepada hal-hal yang baru, itu bukan perkara mudah. Maka kalau boleh usul harus melalui community (komunitas).

Seperti apa komunitas tersebut?

Komunitas itu menajdi marketing kita. Kita buat paket, dimana basisnya kita mengelola pengeluaran dan pendapatan. Kalau pengeluaran rata-rata 3 juta, 2 juta, nanti kita bisa bantu menghemat sekalian. Misalnya, pokoknya ikut pengajian ditempat kami, nanti kita bantu satu bulan menghemat 300 ribu. Kami jamin lah. Kira-kira begitu.

Manajemen paket itu lewatnya komunitas. Komunitas pengajian, komunitas sosial di masyarakat. BMT tinggal ketemu dengan tokoh-tokoh komunitas tersebut. Biaya untuk itu memang besar, tapi keuntungan di masa yang akan datang akan lebih besar. Biayanya darimana? Sebagaimana OJK, mereka mengedukasi masyarakat dengan cara masyarakat yang mudah menerima. Misalnya pakai gadget atau handphone. Artinya, memasuki area dimana masyarakat familiar memakainya. Tidak banyak penjelasan, karena mereka tidak banyak memiliki energi untuk menjelaskan. Teknologi yang banyak membantu menjelaskan.

Misalnya, cash managemen berbasis android. Bagi BMT kita buatkan aplikasi neraca dan aliran kas. Seperti di Singapura, ada software diagnosa kesehatan. BMT buat software kesehatan keuangan anggota BMT. Dalam aplikasi tersebut, terperinci, satu keluarga memiliki anak tiga, pendapatan saya sekian, apakah nanti warnanya merah, kuning atau hijau keuangan kita. Kalau Anda merah, kamilah tabibnya, kira-kira begitu. Insya Allah kami bisa mengubah nasib Anda dari merah ke kuning dan Insya Allah hijau.

Sebenarnya BMT telah membentuk MKU (Membangun Keluarga Utama) yang mengajari anggota melalui ruhaninya, infaknya, hingga usahanya. Kalau Bapak melihat apa kendala yang dihadapi pelaku usaha atau pegiat BMT dalam menerapkan hal tersebut?

Mari kita lihat satu persatu. Pertama, Dari sisi masyarakat, kita sebagai muslim terbesar di Indonesia ini memiliki kendala mitos yakni rizky di tangan Tuhan. Gak butuh direncanakan. Ada dimakan, tidak ada dicari. Ketika bicara menabung pun, akan berkata, untuk apa menabung, rizky dari Tuhan. Mengubah mitos itu sendiri butuh energi sendiri. Perlu ada tawaran yang lebih dari sisi eksternal.

Misalnya, caranya, dengan pendapatan yang sekian itu bapak bisa bersedekah. Dengan pendapatan segitu, dengan tanpa manambah pendapatan, sebenarnya bapak bisa lebih soleh dan bisa naik haji. Kira-kira begitu tawarannya. Dalam dialog interaktif, pendapatannya habis itu digunakan untuk apa saja. Coba kita cek. Sehingga jelas. Kita mengajari mereka pada dasarnya kendalanya adalah kendala persepsi dan mitos.

Kedua, kendala lingkungan. Jadi budaya yang berkembang di masyarakat kita adalah budaya ngutang. Saya beberapa kali ngecek di pasar. Anggota BMT itu tidak hanya yang menjadi anggota satu BMT. Penemuan kita ada yang manarik, semakin dipercaya BMT, menghutangnya semakin banyak. Masyarakat itu dididik oleh teman-teman BMT, ngerti uang dan ngerti mengelola, akibatnya banyak lembaga lain lebih mudah masuk. Secara sosial, BMT telah membantu masyarakat sadar keuangan. Pernah tidak BMT melakukan penelitian, tentang budaya ngutang produtifkah yang berkembang pada anggota BMT? Bukan budaya ngutang yang konsumtif. Saya kira belum diteliti.

Ketiga, budaya lingkungan bebas. Ini budaya non keuangan. Budaya leasing, mengajak kita belanja sebelum waktunya. Supermaket, minimarket mengajak masyarakat belanja yang tidak direncanakan. Dengan adanya iklan dan promo. Dan itu tidak bisa kita bendung, karena secara konstitusi kita telah menerima globalisasi. Artinya, tantangan itu ada yang terkontrol dan ada yang tak terkontrol.

Jadi kalau kita ingin masuk pada level terbawah, kita harus mampu menangani dan kompetisi dengan dua makhluk tadi. Bagaimana skim keuangan yang akan kita buat tidak kalah menarik dengan para rentenir dan para tawaran-tawaran lingkungan yang lain. Misalnya saja, anggota yang sudah memiliki simpanan untuk umroh, kemudian batal karena akan dibelikan motor. Apakah kita tidak sakit melihat kenyataan itu. Karena ada diskon motor yang luar biasa. Ini faktor eksternal, ini yang kesatu.

Yang kedua, faktor internal kita sendiri, lembaga mikro di Indonesia, itu agak berbeda dengan lembaga mikro di negara lain. Di negara lain, motif utamanya adalah development (pembangunan). Karena memakai uang negara. Sehingga motif-motif pemberdayaan itu dipakai. Sedangkan motif lembaga keuangan mikro di Indonesia adalah uang. Profit. Mengapa? Karena pemerintah tidak mengurus. Karena pemerintah tidak memiliki energi mengurus sektor mikro. Dan dianggap peluang. Motif inilah yang berefek pada pola bisnis dibanding mau memberikan pelayanan keuangan yang komprehensif pada masyarakat. Karena pelayanan komprehensif akan mendatangkan profit lebih lama. Butuh proses dan tidak instan.

Kalau dalam konvensional, tugas perencanaan keuangan tidak dalam waktu pendek, merencanakan keuangan bisa puluhan tahun. Sekarang, problem orang naik kelas itu maindsetnya akan berubah. Bisa tidak BMT mendampingi anggota dari 1 juta naik menjadi 5 milyar, sedang aset BMT berkembang tidak signifikan. Anggota bisa tumbuh cepat, tapi tetap ‘takdhim pada gurunya’(tetap di BMT). Bisa tidak? Dalam dunia tholabul ‘ilmi (mencari ilmu) di pesantren bisa. Kira BMT bisa atau tidak! Dalam konteks BMT, bisa tidak anggota tetap memiliki loyal ketika sudah besar? Hal itu saya kira bisa bila kita punya community.

Misalnya juga, mengapa pesantren bisa membangun jaringan yang sedemikian kuat? Tak lain, karena pada awal transaksinya bukan transaksi bisnis, tapi transaksi sosial. Ilmu gratis, makan gratis, tidur gratis. Kan gitu. Mirip dengan yang kita lakukan ketika awal melayani anggota, mulai mengajari cash managemen, saving dan proteksi, BMTlah yang berbuat baik. Makanya, BMT harus siapkan dana untuk kebutuhan hal tersebut. Berapa komunitas yang bisa lakukan terlebih dulu misalnya. Jangan sampai ketika seperti ngopeni anjing galak, kecil kita rawat, besar kemudian lari. Kita tidak ingin itu.

Oh ya, lebih teknis, bagaimana menerapkan perencanaan keuangan bagi UMKM? Dan Bagaimana mengajari mereka untuk paham terhadap PKMS?

Sebelumnya, saya tanya dulu, dalam sehari berapa kali interaksi pengelola BMT dengan anggota? Sehari sekali, saya kira itu sudah cukup. Cukup dalam arti kita bisa membantu perencanaan kas anggota. Selama ini, dapat uang sendiri, dikeluarkan sendiri, untuk apa mereka sendiri yang menentukan sendiri. Kita bantu cash managemen mereka. Diakhir tutup buku setiap hari kita bantu casflow mereka berapa? Cash off flow mereka berapa? Kalau syukur semua kita kelola, semuanya disetorkan kepada BMT, kalau butuh uang tinggal minta kepada BMT. Diakhir bulan akan terlihat jelas, pemasukan berapa dan pengeluaran berapa?

Lebih lanjut lagi, kita bicara kepada ibu pedagang pengeluarannya barang ini dan itu. Diawal tadi hanya, cashflow bahwa pedagang untung sekian. Hal ini tidak mudah harus ada kepercayaan terlebih dahulu. Bisa tidak, anggota memiliki rekening sendiri untuk uangnya di kita dan kami tidak memiliki hal untuk mengambil. Boleh keluar tapi recordnya ada di kita. Karena pedagang itu belanjanya kemana-mana, diminta untuk lapor saja dulu ke kita. Selama ini anggota datang ke BMT, hanya nabung, setor dan ambil. Bisa ditambah kas. Jadi ada rekening kas mereka. Hal ini akan mengajarkan kepada anggota ada kebocoran keuangan, apa tidak. Net asetnya ada apa tidak. Itu level satu.

Pada level kedua, misalnya BMT TAMZIS memiliki target 100 anggota yang memiliki neraca dan laba rugi. Nanti dibuatkan neraca basic, neraca yang simple sekali. Harus jujur. Karena cashflow itu untuk melihat pengeluaran yang bisa dicek dan dipotong. Atau mengadakan penelitian, para pedagang itu apa saja pengeluarannya sehingga muncul prototipe cashlow.

Bisa juga dengan menceritakan antar pedagang, satunya bisa menabung 200 ribu, dan satunya bisa menabung 500 ribu dengan aset dan omset yang sama. Artinya, yang satu bisa saving lebih banyak karena tidak terjadi kebocoran keuangan. Satunya, terjadi pengeluaran yang sebenarnya bisa dipotong. Hal ini untuk memberikan pancingan kepada pedagang agar memahami perencanaan keuangan.

Kalau ingin menerapkan perencanaan keuangan bagi pedagang, berarti pegiat BMT harus mengerti perencana keuangan?

Intinya paham perencanaan keuangan. Pertama, Paham rincian mereka apa. Jangan sampai tidak butuh motor, tapi membeli motor. Kedua, pahami kondisi keuangan mereka. Karena bila pegiat BMT tidak memahami kondisi keuangan mereka, yang seharusnya pembiayaan untuk kebutuhan toko, dijadikan untuk mencicil motor. Hal ini yang berakibat tidak berkembangnya pedagang dan juga terjadi kemacetan pembiayaan.

Bisa tidak berdakwah dengan perencaan keuangan syariah?

Seharusnya, BMT sebagai lembaga dakwah, tidak hanya mengajari anggota untuk tidak ribawi, ghoror, maisyir saja. Tapi dahwah dengan mengajari perencanaan keuangan pada pedagang sehingga pedagang bisa naik kelas. Bagaiman berdakwah membantu keluar masuknya keuangan secara benar. Kita kan tahu, syarat utama dakwah itu adalah ilmu.

Terakhir, apa yang seharusnya dilakukan BMT terkait dengan dirinya, maupun terkait dengan UMKM?

Untuk BMT, saya ingin mengajak reorientasi sebenarnya BMT itu mau mengajak para pedagang. Tidak hanya mengajak, mereka yang tidak layak keuangan menjadi layak keuangan. Mengapa? Karena kalau BMT hanya melakukan hal tersebut, di belakang BMT sudah menunggu raksasa-raksasa yang siap mengambil. Kira-kira begitu. Tapi BMT harapannya mengajak masyarakat tidak hanya kaya, tapi juga piawai dalam memperlakukan uang. Harapan saya, ini mengubah maindset, maindset BMT secara internal dan maindset BMT kepada masyarakat. Sehingga ikatan emosional ini bisa terjalin. Perlu diketahui juga, dalam kondisi yang sama, banyak lembaga atau orang yang memberikan kelebihan dan kecanggihan. Sementara BMT tampil dengan tanpa kecanggihan apapun.

Kalau mau jalur cepat, satu, BMT harus bangun community. Kedua, BMT menggunakan teknologi user friendly. Teknologi yang sudah dipunyai dan dinikmati masyarakat. Untuk memenangkan kompetisi. Ketiga, menggunakan perencanaan keuangan secara fokus. Karena BMT itu tidak hanya melayani anggota pada tingkat mikro, tapi juga di bawahnya. kecil dan menengah. Semua itu karakternya tidak sama. Memang orang mikro ini akan memiliki karakter yang loyal, tapi butuh waktu panjang. Pada level medium, gampang untuk dilayani, tetapi makin tidak loyal. Makanya community base itu harus ada penjenjangan. Pada level bawah, konsep tamwil dan maal harus digabung. Meskipun posisinya terpisah, tapi kerjanya harus bareng. Karena saling membutuhkan.

Kedua, ide baik itu akan menjadi indah bila dapat support. Kita kan belum bisa memberi masukan ke pemerintah, sehingga kita harus membuat jejaring, baik itu cetak maupun media sosial. Betapa sekarang berkembang, bisnis jejaring. Yang kemaren tidak kebayang, sekarang lumayan. Misalnya, ojek online (GO-Jek) itu omsetnya naik tajam sekali. Dalam sebulan ada 10 ribu ojek yang mendaftar menjadi anggota Go-jek. Mereka tidak membutuhkan pemerintah, tapi mereka memanfaatkan jejaring. Umat muslim juga harus masuk ranah bisnis online.

Bisa juga BMT melakukan kerjasama dengan community “one day one juz”untuk melakukan pembiayaan misalnya. Itu anggotanya jutaan dan rata-rata orang baik. Siapa yang ngopeni. Misalnya, BMT itu kayak indomaret, setiap anggota yang butuh ppembiayaan datang ke BMT. Sekarang, indomaret itu menjadi jejaring pembayaran BPJS. Mengalahkan bank syariah. Salah satunya karena jaringan. Itu lompatan. Dan teknologi itu harus dimanfaatkan. Mengubah maindset dan mengubah misipun dengan cara itu. Memang untuk generasi tua sudah tidak masuk, tapi untuk masa depan Insya Allah ini yang akan banyak diminati. [zbr]