Ikhlas Itu Tak Mudah

Ikhlas Itu Tak Mudah

 

Di beberapa kesempatan, entah pengajian, ceramah ramadhan, kultum dan tausyiah ringan lainnya saya sering mendengar bagaimana bersikap ikhlas, bisa dipastikan para penceramah mengutarakan hadis nabi yang kurang lebih isinya begini, “hanya orang yang ikhlaslah yang tidak bisa digoda oleh setan”. Memang, Setan senantiasa menggoda dan memberdayai manusia apabila tidak ada keikhlasan dalam hati manusia.

Tak jarang, ketika selesai mendengar hikmah ikhlas tersebut, hati saya selalu gunda, mesti ikhlas tersebut sudah saya mengerti definisi, hikmah sampai manfaatnya. Tapi kenapa, keikhlasan tidak gampang saya terapkan disetiap  pandangan, pendengaran, pikiran saya hingga sikap hidup dalam melayani sahabat, tetangga dan masyarakat.

Ada apa dengan saya? Apakah memang keikhlasan juga awalnya harus dipaksa? Nah, itu artinya tidak ikhlas. Apakah memang belum waktunya iman saya menapaki maqam (kedudukan) keikhlasan tersebut. Mungkin belum. Itu mungkin jawaban sederhana sekaligus mengakui kekurangan selama ini. Dan mudah-mudahan bisa selalu belajar rasa ikhlas.

Tapi kenyataan, beberapa orang yang menjelaskan keikhlasan, apakah kyai, mubaliq dan pimpinan perusahaan semua tergolong kaya secara ekonomi, mapan secara social, kuat secara jabatan dan pintar secara keilmuan. Saat itu, sering saya berpikir, apakah bisa ikhlas itu harus menunggu kaya sehingga memberi seratus ribu sangat ringan kepada dhuafa, maka wajar ikhlas. Mapan secara social, mudah ikhlas karena kalau tidak memberi kedudukannya akan jatuh. Ah, tak tahulah. Yang pasti, aku semakin tahu kebodohanku selama ini.

Kadang, saya berpikir apakah kerja itu juga harus ikhlas? Bagaimana dengan dapur rumah, uang saku anak-anak, sumbangan tetangga ketika ada hajatan, bayar sekolah anak dan banyak lagi lainnya. Memangnya, apa bedanya kerja dengan gaji yang sudah menunggu diawal bulan dengan kerja ikhlas yang sama-sama tahu kapan dan berapa akan digaji. Yang aku tahu Cuma apabila ikhlas akan dapat keberkahan lebih dalam hidup dan berkeluarga.

Mesti begitu, keikhlasan tetap menjadi mesteri, hanya orang-orang yang pernah merasakan dan sering mengulang-ngulanglah yang dengan mudah belajar untuk ikhlas. Berarti memang susah belajar ikhlas, karena belajar ikhlas saja sudah harus berkorban, bisa korban tenaga, uang dan pikiran.

Maka dalam pikiran pendek saya, sangat sulit, jika setiap orang mau ikhlas tapi tidak mau berkorban. Sedang berkorban saja menunggu kepada siapa yang relevan pengorbanan kita berikan, layak atau tidak, baik atau tidak untuk kedepan. Nah, mau berkorban saja banyak juga pertimbangan, terutama pikiran dan akal kita.

Dengan begitu, bukan semakin dekat kita belajar ikhlas tapi sebaliknya kita malah semakin jauh dan tidak memiliki apa-apa. Dengan begitu, apa jadinya kalau kita berjalan ditengah ketidakpastian dan keraguan hidup.

Enaknya, memang kita harus melakukan perbuatan secara maksimal, sekarang dan yang mungkin bisa dilakukan serta kita lakukan sebaik mungkin.

Dalam kondisi seperti itu, sering kali saya mengatakan bukankah tuhan selalu melihat apa yang dikerjakan manusia sebaik-baiknya. Tidak pernah lepas dari pengamatan dan bantuan-Nya. Bararti setiap waktu dan kondisi manusia bersama-Nya.

Mungkin itu juga pentingnya berdoa. Berdoa yang menunjukkan kelemahan manusia dalam menjalankan segala sesuatu. Lakhaila walakuwata illa billah (tiada kekuatan kecuali dari Allah).

Sebagai penutup, ikhlas memang tidak mudah, untuk memperoleh keikhlasan kita harus berdoa memintanya sembari memaksa diri berkorban dan bersikap ikhlas serta memberi apa yang kita punya, panca indra, pikiran dan diri kita bahkan!.

Sebagaimana sayyidina Ali, sahabat nabi,  memberikan dirinya untuk perjuangan Islam, karena yang ia miliki hanyalah dirinya dan akhirnya menjadi sahabat dengan gelar murtadha (orang yang dapat ridha dari Allah Swt)